The S.I.G.I.T bukanlah sebuah band karbitan yang sekedar mengandalkan unsur keberuntungan. Perjalanan karir mereka dimulai dari pertemanan semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Proses demi proses mereka lalui hingga kini The S.I.G.I.T banyak dianggap sebagai salah satu grup musik garda depan dari generasi muda di dunia musik rock Indonesia.
Pada awalnya, para personil The S.I.G.I.T yakni Rektivianto Yoewono (Vocal, gitar), Farri Icksan Wibisana (Gitar), Aditya Bagja Mulyana (Bas, vokal latar) dan Donar Armando Ekana / Acil (Drum) hanyalah sekumpulan pecinta musik akut yang setiap hari di kepala mereka berisi band-band favorit serta segala seluk beluk teknis musik seperti gitar, efek ataupun cerita-cerita biografi. “Mungkin tarafnya sama seperti anak remaja yang menggilai pemain bola dan tim sepak bola,“ kenang Rekti mengenai masa remajanya dulu.
Berangkat dari kecintaan yang dalam terhadap musik serta mengidolakan berbagai band yang sama, maka kala itu mereka berempat sepakat untuk mengubah predikat selama ini dari pendengar musik menjadi pemain musik.
Kemampuan bermain musik yang mereka pelajari secara otodidak menjadi modal awal untuk menjadi ‘anak band’. “Skill permainan masing-masing juga berawal dari tahap yang sama dan pengembangan skill permainan dan pembuatan lagu juga diasah bareng selama ini,” tukas Rekti.
Walau sudah bermain musik bersama sedari SMP (1997), namun nama The S.I.G.I.T baru digunakan pada tahun 2002, saat mereka tengah duduk di bangku perguruan tinggi seiring juga mereka memfokuskan diri untuk memainkan lagu-lagu ciptaan sendiri. Sebelum menggunakan nama The S.I.G.I.T, band ini kerap memainkan berbagai lagu dari banyak band idola mereka seperti Led Zeppelin, The Clash dan The Stooges.
Nama The S.I.G.I.T sendiri merupakan kepanjangan dari The Super Insurgent Group of Intemperance Talent yang merupakan buah pikiran Rekti yang terinspirasi dari nama-nama band di luar sana yang kerap menggunakan singkatan yang memiliki banyak arti.
Penampilan perdana mereka di bawah nama The S.I.G.I.T terjadi pada tanggal 23 Oktober 2003 dalam sebuah acara fakultas Arsitektur, Universitas Parahyangan. Kebetulan Farri dan Acil memang berkuliah disana. Setelah penampilan perdana tersebut, nama The S.I.G.I.T pelan-pelan mulai bergaung di kalangan kampus. Acara demi acara di kampus mulai menjadi santapan mingguan mereka.
Hingga pada saat itu, mereka mendapat tawaran dari Spills Records untuk merilis sebuah mini album. Di tahun 2004, debut mini album yang hanya dikerjakan dalam waktu dua minggu akhirnya dirilis dan mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Walau begitu, pemunculan mereka kala itu juga tidak lepas dari komentar miring sebagian pihak yang menganggap mereka hanyalah band yang mengikuti tren saja. Anggapan itu muncul karena musik rock yang mereka mainkan serupa dengan musik garage rock yang di awal periode 2000-an sedang naik daun. Untuk anggapan miring tersebut, Rekti berpendapat, “Memang kebetulan pada era awal 2000an sedang marak band-band rock revival seperti The Strokes, The Datsuns, The White Stripes dan mereka saat itu ‘dilabeli’ sebagai garage rock. Memang kami mengikuti dan mendengarkan band-band tersebut. Bukan karena sedang booming, melainkan karena kami selalu menggemari musik semacam itu. Dan yang kami rasakan saat itu adalah euforia. Bayangkan gimana rasanya aliran musik yang anda gemari bangkit kembali dan bermunculan lagi band-band yang menarik. Namun tanpa adanya booming garage rock pun saya yakin kami akan menjadi band seperti kami sekarang, yang mendapatkan banyak influence dari band rock 60-70an.”
Promosi Word of Mouth
The S.I.G.I.T adalah satu dari sekian band yang lahir di periode 2000 di Bandung. Sebuah masa dimana menurut mereka adalah stagnan dan pasif jika dibandingkan dengan periode musik era 90-an di Bandung. “Kalau dilihat dari intesitas acara, tahun 90’an scene-nya lebih hidup. Walaupun acara-acara yang diadakan masih modal udunan (patungan) dan non-profit, namun semua pelaku yang terlibat di dalamnya sangat aktif dan sungguh-sungguh. Etos DIY (Do It Yourself) sangat kuat pada masa itu. Hampir semua band yang punya lagu sendiri merilis album (dengan modal sendiri juga),” ucap Rekti.
Namun walau The S.I.G.I.T lahir di era musik yang bisa dikatakan tidak cukup bergeliat dibandingkan era sebelumnya, mereka mengakui bahwa peran berbagai komunitas yang tersebar di Bandung ini cukup berperan pada karir mereka pada khususnya dan karir banyak band independent lainnya di kota Bandung. Semenjak periode 90-an, Bandung dikenal sebagai kota kreatif yang memiliki ikatan berbagai komunitas yang cukup kuat. Dari situlah, semua sektor yang ada saling melengkapi.
“Komunitas itu biasa terbentuk tanpa sengaja. Biasanya awalnya hanya bermain bersama dan berlanjut menjadi sebuah kegiatan bersenang-senang. Hal ini membuat orang-orang yang terlibat menjadi lebih santai. Lebih mengedepankan sisi kekeluargaan atau pertemanan serta mudah berbaur. Makanya jarang ada perselisihan antar komunitas karena batas antara komunitas yang satu dengan yang lainnya juga tidak jelas. Keuntungan dari kondisi tersebut adalah: semua orang kenal semua orang (everyone knows everyone) dan relasi terjalin lebih mudah dan cepat. Kemudian terjadilah penyebaran berita mengenai sebuah band (word of mouth), berita sampai ke tangan orang yang tepat (radio, majalah, label, dll yang biasanya juga masih dalam lingkaran everyone knows everyone) Pada akhirnya sebuah band mendapatkan apa yang mereka butuhkan.” kata Rekti.
Hubungan erat antar komunitas ini terus berjalan beriringan. Semua sektor saling terkait. Dari musik hingga fashion. Dari sini, musik pun dapat menjadi salah satu faktor pendukung industri kreatif. Contoh paling nyata adalah merchandise band. Rekti berpendapat, “Penjualan merchandise seperti kaos adalah contoh komoditi ekonomi sebuah band yang paling gamblang. Jika sebuah band memiliki penggemar yang banyak dan memiliki produk merchandise yang menarik tentunya penjualannya akan berbanding lurus. Menurut saya sih hubungan antara band dan sebuah clothing adalah mutual. Sebuah band yang bagus akan menarik perhatian pembeli produk clothing. Sebaliknya sebuah clothing yang kredibilitasnya bagus akan membantu mengangkat nama band.”
Satu hal yang pasti, target pasar dari penjualan merchandise sebuah band adalah penggemar dari si band itu sendiri. Semakin besar komunitas penggemar pada sebuah band, maka akan besar juga kemungkinan merchandise tersebut akan dikonsumsi. Untuk The S.I.G.I.T mereka telah memiliki basis penggemar yang cukup besar. Penggemar The S.I.G.I.T menamakan diri mereka sebagai The Insurgent Army.
The Insurgent Army berawal dari penggemar yang dulu bersekolah di Taruna Bakti. Mereka selalu hadir dalam setiap pertunjukkan dan selalu bertambah jumlahnya setiap kalinya. “Peran penggemar yang paling terasa adalah upaya mereka dalam membantu kami menyebarkan berita atau word of mouth. Semakin luas cakupan word of mouth, semakin kuat fanbase. Maka dari itu bisa saya katakan kalau The S.I.G.I.T bisa seperti sekarang karena bantuan dan antusiasme dari fanbase. Tanpa ada mereka kami tidak akan seperti sekarang mengingat minimnya coverage dari media besar seperti televisi,” ujar Rekti mengenai basis penggemar The S.I.G.I.T yang ia sangat hargai itu.
Berbicara di Dunia Internasional
Dengan ramuan musik yang rancak serta basis penggemar yang besar, pada perjalanan karir selanjutnya, The S.I.G.I.T menjadi incaran dari berbagai label musik. Pilihan mereka lalu jatuh kepada FFCUTS, sebuah divisi khusus musik rock dari label FFWD yang dikenal sukses menaungi band Mocca. Di bulan Desember 2006, The S.I.G.I.T akhirnya merilis debut album penuh mereka yang bertajuk Visible Idea of Perfection. Tidak berapa lama, sebuah label asal Australia, Caveman juga tertarik untuk merilis album The S.I.G.I.T di negeri kangguru. Maka pada bulan Juni 2007, album Visible Idea of Perfection resmi beredar di seluruh Australia. Dan untuk mendukung promo album, pada tahun yang sama, The Sigit menggelar tur selama sebulan penuh dimana mereka bermain di sembilan kota dan tampil di 16 panggung berbeda.
Setelah itu, nama The S.I.G.I.T kian bergaung di dunia internasional. Di tahun 2008 mereka diundang tampil dalam salah satu festival musik terbesar di Amerika Serikat, South by Southwest (SXSW) di Texas. Namun karena bermasalah dengan visa, maka kepergian mereka akhirnya ditunda hingga tahun 2009 dimana mereka tidak hanya tampil dalam festival SXSW, namun juga tampil di panggung-panggung pada kota Los Angeles dan San Fransisco.
Banyak pengalaman dan pelajaran yang dipetik oleh mereka selama perjalanan ke luar negeri. “Kesan yang paling bersisa adalah pengalaman mengamati pola kerja band disana. Bagaimana mereka menjalani sebuah tur, mempersiapkan diri mereka, penampilan mereka. Banyak hal yang kami pelajari dalam hal-hal terebut. Mereka sangat sistematis. Mungkin karena infrastruktur industri hiburan dan musik sudah mapan sehingga segalanya seperti memudahkan musisi dalam bekerja. Di sana seorang musisi atau band tidak perlu pusing dengan masalah sepele seperti venue, peralatan, ketepatan waktu, keamanan, equipment dan hal kecil lainnya. Mereka hanya dipusingkan oleh masalah bagaimana membuat lagu yang bagus dan bagaimana menampilkan sebuah pertunjukkan yang menarik. Makanya mereka terlihat lebih fokus dengan apa yang mereka kerjakan,” jelas Rekti panjang lebar.
Antara Materi dan Kesuksesan
Sementara itu apa yang terjadi di kehidupan para personil The S.I.G.I.T itu sendiri hingga saat ini mereka belum tentu bisa 100 persen fokus terhadap kegiatan bermusik yang mereka cintai. Yang menjadi dasar, tentunya faktor penghasilan yang belum bisa menghidupi secara keseluruhan. Karena itu di sela-sela kegiatan bermusik, beberapa personil The S.I.G.I.T masih ‘harus’ menjalani kegiatan pekerjaan lainnya.
Rekti mengakui bahwa keinginan untuk menjadi full time musician itu sebenarnya telah ada di benak mereka. “Alangkah indahnya kalau kami bisa menjadikan band sebagai full time. Kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Penghasilan yang didapat dari band saat ini masih menjadi pendukung untuk mengemban inventaris peralatan. Uang yang kami dapat dari band biasanya digunakan untuk beli peralatan musik dalam rangka mendukung pembuatan lagu yang kami idam-idamkan. Saya jadi teringat wejangan dari seseorang yang pernah bilang ‘usaha dulu yang tekun, uang pasti menyusul.’ Kalau mikir uang terus jadinya stres. Selama masih bisa ngeband tanpa harus menjual barang, saya pribadi sih enggak apa-apa. Lagi pula saya pribadi enggak punya hasrat terhadap harta yang berlebih. Kalau kaya pun pasti uangnya buat beli alat musik atau piringan hitam. Jadi menurut saya, saat ini tahap band kami adalah full time musician for musical purpose dan another job for another purpose.”
Dengan berbagai penghargaan dan popularitas yang mereka dapat sejauh ini, The S.I.G.I.T mengaku masih berusaha keras untuk dapat menghasilkan karya sebagus mungkin. Karena mereka merasa masih belum puas dengan apa yang telah dihasilkan selama ini. “Yang pasti kita nggak pengen cepet puas karena kalau udah puas akan kehilangan tujuan.”
Bagi The S.I.G.I.T definisi sukses bagi sebuah band bukan hanya dinilai dari materi. Sukses bisa berasal dari berbagai unsur lain selain materi. Dari awal terbentuk, mereka menjalani karir musik ini tanpa ambisi yang besar. Bagi mereka, lebih baik fokus berkarya dan terus bertahan daripada hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan uang yang banyak dari bermain band. Menurut Rekti, “Kalau ngeband dengan persepsi suksesnya materi, lebih baik cari kerjaan lain aja.”