Lasinrang merupakan salah satu pejuang bugis asal pinrang yang memimpin para pemuda di tanah addatuang (kerajaan) Sawitto melawan penjajah Belanda. Lasinrang lahir di Desa Dolangan, Pinrang pada tahun 1856 dan wafat di tahun 1936. Dalam lembaran sejarah, Lasinrang adalah salah seorang pejuang yang tak bisa dikalahkan Belanda selama masa penjajahan. Taktik keji Belanda-lah yang menahan ayahnya, Addatuang Sawitto, dan istrinya, I Makkanyuma, membuat Lasinrang menyerah.
Warga
Pinrang mengabadikan nama Lasinrang di setiap sudut kota sebagai nama
jalan, gedung olahraga, rumah sakit dan lain-lain. Bahkan patung
Lasinrang berbulu emas berdiri tegak di pusat Kota Pinrang yang
berjarak sekitar 185 kilometer dari Kota Makassar.
Kisah Hidup Lasinrang
Sekitar
tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi
suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu Lasinrang. Kemudian
dikenal dengan nama Petta Lolo Lasinrang. Putra La Tamma Addatuang
Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak
kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I
Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya
La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh
dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).
Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan dari pamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, Lasinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu ciri bahwa putra Adatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.
Diwaktu
kecil Lasinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis
mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya
yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “Massaung“ (menyabung
ayam). Dari kegemaran ini, Lasinrang selalu menggunakan “Manu’ bakka“
(ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah pada bagian
dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.
Kegemaran
menyabung ayam dengan “manu bakka“ tersiar keluar daerah, sehingga
Lasinrang dikenal dengan julukan “Bakka Lolona Sawitto“ juga dapat
diartikan “Pemuda berani dari Sawitto” . Julukan ini semakin popular
disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.Juga kegemaran
La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu
tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo)
mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik
dengan Permainan tersebut.
Lasinrang
ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan
gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana
sendiri. Datu Pammana La Gabambong (La Tanrisampe) juga merangkap Pilla
Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.La Sinrang pun
dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal
menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah
asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra
yakni La Koro dan La Mappanganro dari hasil perkawinan dengan Indo
Jamarro dan Indo Intang.
Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya.
Lasinrang
selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone,
baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah
seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone.
Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “La Salaga‘ sedang kerisnya diberi nama “JalloE”
Dengan
akal bulus Belanda, Lasinrang menyerahkan diri karena ayah dan
istrinya ditangkap dan diancam akan disiksa. Lasinrang menjalani masa
pengasingan di Banyumas dan dipulangkan dalam keadaan sakit dan lanjut
usia, Lasinrang akhirnya wafat pada tanggal 29 Oktober 1938 dan
dimakamkan di Amassangeng.
makasih gan infonya dan salam sukses
ReplyDeleteTulisan yg cukup memberikan pengetahuan tentang seorang tokoh n pahlawan lokal. Semoga bermanfaat
ReplyDeleteSaya bangga jdi keturunannya
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteBisa translate ke bahasa bugis kah
ReplyDeleteAmbo Dalle itu siapa?, barangkali ada yg tahu?
ReplyDeleteAda yg tahu "pajjagguru mallebu" versi lengkpx
ReplyDelete?
Banyak sekali di daerah tempat tinggal kami dan apa yg menurut kami peninggalan dari sejarah beliau yg pernah datang
ReplyDelete