Putra Sawitto - Falsafah
hidup secara fundamental, dipahami sebagai nilai-nilai sosio kultural
yang dijadikan oleh masyarakat pendukungnya sebagai patron (pola) dalam
melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai
normatif ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap
pendukungnya meski arus modernitas senan-tiasa menerpa dan menderanya.
Bahkan dalam implementasinya, menjadi roh atau spirit untuk menentukan
pola pikir dan menstimulasi tindakan manusia, termasuk dalam memberi
motivasi usaha.
Mengenai
nilai-nilai motivatif yang terkandung dalam falsafah hidup, pada
dasarnya telah dikenal oleh manusia sejak masa lampau. Tatkala zaman
“ajaib” berlangsung yakni lima hingga enam ratus tahun sebelum masehi,
di seluruh belahan bumi muncul orang-orang bijak yang mengajari manusia
tentang cara hidup. Orang India memiliki tokoh spiri-tual bernama
Buddha, di Parsi bernama Zarasustra, di Athena ada Socrates, serta dalam
masa yang sama Lao-Tse dan Confucius juga mengajar cara hidup di
Tiongkok. Entah karena diilhami oleh petunjuk Yang Maha Kuasa atau alam
mitologi maupun setting ling-kungan tertentu (dominasi alam),
tetapi yang pasti bahwa mereka telah menunjukkan buah pikir yang sangat
luar biasa di tengah keterbatasan sumber literatur.
Tak
terkecuali orang Bugis, di masa lampau juga telah memiliki sederet nama
orang bijak yang banyak mengajari masyarakat tentang filsafat etika.
Hal ini tercermin melalui catatan sejarah bahwa perikehidupan manusia
Bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan
secara dikotomik dari pengamalan aplikatif pangaderrang. Makna pangaderrang
dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana
seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan ter-hadap
pranata sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan
hidup. Demikian melekat-kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis,
sehingga dianggap berdosa jika tidak melaksanakan.
Dalam konteks ini, inklusif di dalamnya ade’ (ada’, Makassar) atau adat istiadat, yang berfungsi sebagai pandang-an hidup (way of life) dalam
membentuk pola pikir dan mengatur pola tingkah laku manusia dalam
kehidupan ber-masyarakat dan bernegara. Karena itu, dalam sistem sosial
masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), wari (perbedaan strata) dan bicara (bicara atau ucapan), serta sara’ atau hukum ber-landaskan ajaran agama.
Pengamalan secara aplikasi-implementatif pangaderrang sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 (empat) asas sekaligus pilar yakni: (1) Asas mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan diri-nya dalam pangaderrang; (2) Mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen; (3) Mappasenrupae, yakni mengamal-kan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang; (4) Mappalaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar terhindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi perilakunya manusia Bugis.
Nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam falsafah hidup orang Bugis tersebut,
menarik dihubungkan dengan etos kerja orang Wajo sebagai sebagai salah
satu pendukung kebudayaan Bugis di jazirah Sulawesi Selatan.
Eksistensi Falsafah Hidup
Pentingnya peran adat (ade’) sebagai falsafah hidup, di antaranya tercermin melalui kalimat: “Maradeka To WajoE Adenami Napopuang” (hanya
tanah atau negeri yang abadi yang siempunya tanah merdeka semua, hanya
adat yang mereka pertuan). Hal ini sejak lama menjadi prinsip dan
kewajiban dalam kontrak sosial antar Arung Matowa (raja) dengan
rakyatnya.
Eksisnya nilai sosio-kultural yang terkandung dalam pangaderrang, sehingga tetap bertahan dan menjadi pandangan hidup manusia Bugis disebabkan dua faktor. Pertama, bagi
manusia Bugis yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan
sosial budaya atau lainnya, konsisten atau percaya dengan teguh bahwa
hanya dengan berpedoman pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap
anggota dapat terjamin. Kedua, implementasi dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku dan pandangan hidup bermasyarakat.
Kecenderungan
orang Bugis merefleksikan petuah atau nasehat serta wejangan para
cerdik pandai sebelumnya, tidak lantas membuat mereka alergi dengan
perubahan. Bahkan sebaliknya, kolaborasi-akumulatif antara nilai pangaderrang dengan syara’ (agama)
pada gilirannya menjadi benteng pertahanan tangguh terhadap institusi
dari dominasi westernisasi dalam paket sekularisme. Mengenai Pentingnya
peran agama dalam memfilter pengaruh sekularisme akibat modernisasi,
sebenarnya telah mendapat perhatian serius sejak lama. Sebut saja Donald
E. Smith, pernah menguraikan hal ini dalam buah penanya “Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis” (1985).
Masuknya pengaruh Islam secara adaptif dalam sistem nilai pangaderrang
dan kemampuan merespon perubahan zaman di kalangan orang Bugis, pada
gilirannya melahirkan pemaknaan ter-hadap institusi sosial sebagai
warisan leluhur pun berbeda. Mungkin ada yang masih tergolong fanatik
mengamalkan nilai-nilai ini, semi percaya, dan ada yang cenderung telah
mengabaikannya. Meskipun demikian, bukan persoalan level pemaknaan yang
menjadi inti kajian ini, akan tetapi bagaimana nilai sebuah pesan itu
mampu menjadi pandangan hidup dan spirit usaha.
Falsafah
orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola
perilaku, sebagian dapat kita temukan melalui Lontarak Pammulanna Wajo
yang memuat petuah-petuah Puang ri Maggalatung. Tentang etos kerja orang
Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam implementasinya.
Pentingnya aplikasi makna siri’‘ terhadap para penguasa (raja-raja) Wajo, tertera dalam pesan Puang ri Maggalatung: Padecengiwi bicara-e, Parakai ampe-ampe malebbi-e, Gau-gau lalo’ tennga-e, Pari tengngai bicara ri tennga-e. Pesan
ini bermakna “perbaiki cara bicara jika berbicara, perbaiki tingkah
laku mulia dan terhormat, gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan
tidak sombong, tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah, tidak
melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.
Nilai-nilai filosofis tersebut, sebagian diwariskan dalam bentuk tertulis melalui lontarak, dan ada pula melalui pesan-pesan (Pappaseng) dan petuah (pappangaja). Sekadar
untuk diketahui bahwa beberapa pendukung kebudayaan di Sulsel juga
mengenal dan menghargai pesan leluhur, seperti: orang Toraja menyebutnya
dengan aluktudolo, orang Kajang mengistilahkan dengan pasang, orang Bugis menamakan pappaseng, dan lain-lain .
Uraian
mengenai pesan Puang Ri Magalatung tersebut, pada gilirannya menjadi
pedoman hidup orang Bugis dalam beraktivitas tak terkecuali kegiatan
usaha. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa untuk menjalankan aktivitas
usaha (perdagangan) jenis apapun, tidak hanya dibutuhkan modal
finansial. Akan tetapi sejumlah modal sosial (social capital), juga mutlak dimiliki terutama dalam menjalin interaks
Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase dewata...