Pada awalnya, Mattojang bagi masyarakat tradisional Bugis merupakan bagian dari rangkaian upacara adat Sao Raja yakni pencucian benda-benda pusaka peninggalan Arung Kulo. Namun seiring berkembangnya zaman, Mattojang tidak lagi diselenggarakan ketika upacara Sao Raja dilangsungkan, melainkan permainan adat rakyat Bugis ini juga dilaksanakan untuk memeriahkan pesta-pesta adat tertentu seperti perayaan pesta Panen, perayaan Pernikahan atau menyambut kelahiran seorang bayi.
Selain sebagai sebuah permainan, Mattojang juga merupakan rangkaian dari proses penyembuhan. Bagi masyarakat bugis, seseorang yang telah melupakan leluhur mereka atau ritual-ritual kebudayaan tertentu maka ia akan terkena penyakit-penyakit yang aneh. Bisa jadi berujung pada kegilaan. Jika sekiranya hal itu terjadi maka orang tersebut terlebih dahulu harus menjalani proses ritual. Dimulai dari pengobatan oleh Sanro’ atau dukun, pelaksanaan upacara adat, dan syukuran. Setelah semua proses ini berlangsung barulah orang yang sakit tersebut di Tojang. Tujuan dari mattojang ini adalah untuk membuang penyakit yang bersarang di tubuh si penderita. Dengan mengayun-ayunkan tubuh di udara diharapkan penyakit tersebut terbang keluar dan tidak lagi kembali.
Dalam tatanan linguistik Bugis, Mattojang berasal dari kata Tojang yang berarti ayunan. Dalam istilah Bugis yang lain disebut Mappare. Mappare berasal dari kata Pare yang artinya sama dengan Tojang yakni ayunan. Secara kutural dalam masyarakat Bugis istilah Mattojang diartikan sebagai permainan berayun atau berayun-ayun.
Lahirnya permainan adat Mattojang tidak terlepas dari sebuah mitos yang sangat kuat diyakini oleh masyarakat Bugis hingga saat ini bahwa Mattojang merupakan proses turunnya manusia pertama yaitu Batara Guru dari Botting Langi’ (Turunnya Batara’ Guru dari Negeri Khayangan ke Bumi). Batara’ Guru dalam mitos kebudayaan Bugis adalah nenek dari Sawerigading. Sawerigading sendiri merupakan ayah dari La Galigo, Tokoh mitologi Bugis yang melahirkan mahakarya monumental termasyur di dunia yakni kitab La Galigo.
Menurut pada kepercayaan masyarakat Bugis, prosesi turunnya Batara Guru dari negeri Khayangan yakni dengan menggunakan Tojang Pulaweng yang berarti ayunan emas. Mitos ini pun kemudian berkembang dan menjadi bagian dari prosesi adat. Sebagai salah satu cara untuk menjaga kelestarian kepercayaan ini maka dibuatlah permainan adat Mattojang yang kemudian berkembang menjadi permainan rakyat.
Untuk melakukan permainan Mattojang atau berayun, dibutuhkan empat batang bambu besar (bambu betung) yang tingginya kira-kira 10 meter. Setiap dua batang bambu dipasang menyilang dengan mempertemukan kedua ujung bagian atasya. kemudian sebuah bambu yang panjangnya sekitar enam meter dipasang melintang diatas bambu yang berdiri sebagai tempat penyanggah tali ayunan. Untuk pembuatan tiang ayunan ini, bisa juga dengan menggunakan batang pinang yang telah dipotong dengan ukuran sama. Kemudian untuk tali ayunan digunakan kulit kerbau yang telah dikeringkan dan dianyam membentuk tali. Namun saat ini pemakaian tali ayunan sudah banyak yang menggunakan rantai besi.
Setelah tiang penyangga dan tali ayunan selesai, langkah selanjutnya adalah membuat Tudangeng atau dudukan. Tudangeng dibuat dari papan sebagai tempat duduk orang yang akan diayun. Selanjutnya dipasang Peppa yakni sebuah tali yang berfungsi sebagai alat penarik. Ketika acara Mattojang dilangsungkan, seseorang yang ingin naik ke atas tudangeng terlebih dahulu harus mengenakan baju bodo. Setelah itu barulah ia bisa di tojang. para penonton yang hadir di tempat penyelenggaraan acara juga dapat naik ke atas Tudangeng secara bergiliran untuk diayun. Peppa ditarik oleh dua orang laki-laki atau perempuan untuk mengayunkan orang yang duduk diatas Tudangeng.
Mattojang secara filosofis dalam kepercayaan masyarakat Bugis bermakna penenangan jiwa. Orang yang melakukan Mattojang akan tenang jiwanya seperti bayi yang tertidur diatas ayunan. Ia akan merasa seperti tanpa beban melayang –layang di udara.
0 komentar:
Post a Comment